Opini: Tantangan Pernikahan Dini di Era Modern
Pernikahan dini masih menjadi isu krusial di banyak daerah, termasuk Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun, praktik pernikahan dini tetap marak, khususnya di wilayah pedesaan dan pelosok. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal hukum, melainkan juga berkaitan erat dengan budaya, pendidikan, kemiskinan, dan minimnya pemahaman tentang kesiapan berumah tangga.
ARTIKELOPINI PUBLIK
Andriani, ST., M.Si
7/4/20251 min read


Opini: Tantangan Pernikahan Dini di Era Modern
Pernikahan dini masih menjadi isu krusial di banyak daerah, termasuk Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun, praktik pernikahan dini tetap marak, khususnya di wilayah pedesaan dan pelosok. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal hukum, melainkan juga berkaitan erat dengan budaya, pendidikan, kemiskinan, dan minimnya pemahaman tentang kesiapan berumah tangga.
Tantangan utama dari pernikahan dini adalah ketidaksiapan emosional dan mental pasangan muda. Menikah bukan sekadar soal cinta, tetapi juga menyangkut tanggung jawab sosial, ekonomi, dan psikologis. Anak-anak yang menikah pada usia belia umumnya belum matang secara emosional untuk menghadapi konflik, mengelola emosi, dan mengatur rumah tangga. Alhasil, angka perceraian di kalangan pasangan muda pun meningkat secara signifikan.
Selain itu, pernikahan dini seringkali menghambat pendidikan dan masa depan pasangan, khususnya perempuan. Banyak remaja putri yang harus berhenti sekolah karena hamil atau tuntutan menjadi ibu rumah tangga. Ini menciptakan siklus ketidakberdayaan ekonomi yang berdampak panjang, di mana anak-anak dari pasangan pernikahan dini berisiko tinggi mengalami hal serupa.
Kesehatan reproduksi juga menjadi tantangan serius. Usia muda belum siap secara biologis untuk kehamilan dan persalinan, sehingga risiko komplikasi, kematian ibu, maupun bayi meningkat. Data WHO menunjukkan bahwa kehamilan pada remaja berisiko lebih tinggi terhadap anemia, kelahiran prematur, dan bayi lahir dengan berat badan rendah.
Pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan keluarga harus bersinergi untuk mengedukasi remaja tentang pentingnya merencanakan masa depan secara matang. Solusi tidak hanya dengan melarang, tetapi juga memberikan akses pada pendidikan seksualitas, pemberdayaan ekonomi remaja, dan ruang dialog yang sehat antara orang tua dan anak.
Pernikahan seharusnya menjadi langkah sakral yang dilandasi kesiapan lahir dan batin, bukan pelarian dari kemiskinan, tekanan sosial, atau ketidaktahuan. Mencegah pernikahan dini berarti menyelamatkan generasi.
Inspirasi
Kolaborasi
Pembelajaran
info@ruangpemuda.info
085145459727
© 2024. All rights reserved.