Penyuluhan Cegah Stunting Melalui Regulasi Pemerintah
Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia, termasuk di Campalagian, Polewali Mandar. Artikel ini membahas upaya pemerintah dalam menurunkan stunting melalui regulasi dan penyuluhan, serta pentingnya partisipasi masyarakat dalam program gizi.
ARTIKELOPINI PUBLIK
Nurul Awainah, S.Farm., M.Si. & Aco Nasir, S.Pd.I., M.Pd
6/17/202515 min read
Abstrak
Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih menjadi tantangan utama di Indonesia, termasuk di Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar. Stunting tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan kognitif, kualitas pendidikan, dan produktivitas di masa depan. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai regulasi, seperti Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, yang menekankan pentingnya pendekatan konvergensi lintas sektor, penguatan program gizi, serta peningkatan partisipasi masyarakat. Artikel ini membahas pelaksanaan penyuluhan cegah stunting yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan Kecamatan Campalagian dengan fokus pada pemahaman regulasi pemerintah sebagai dasar intervensi. Penyuluhan ini melibatkan perangkat desa, tenaga kesehatan, kader posyandu, PKK, penyuluh KB, serta pemangku kepentingan lainnya. Metode kegiatan meliputi ceramah interaktif, diskusi kelompok, dan perumusan rencana aksi desa. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pemahaman peserta terhadap regulasi meningkat, terjalin komitmen lintas sektor, serta muncul kesepakatan pembentukan tim percepatan penurunan stunting di tingkat kecamatan. Dengan demikian, penyuluhan berbasis regulasi terbukti menjadi strategi efektif untuk memperkuat implementasi kebijakan nasional di tingkat lokal. Artikel ini merekomendasikan perlunya penguatan kapasitas kader, integrasi data kesehatan, serta pelibatan kearifan lokal dalam mendukung upaya percepatan penurunan stunting.
Kata kunci: stunting, penyuluhan, regulasi pemerintah, Campalagian, percepatan penurunan stunting
UNDUH PDF
1. Pendahuluan
Stunting — kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis — menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Mengacu pada Survei Status Gizi Balita (Riskesdas), prevalensi stunting nasional mencapai sekitar 21–22% pada tahun-tahun terakhir AP News. Pemerintah telah menetapkan target menurunkan stunting menjadi 14% pada 2024. Untuk mencapai target tersebut, intervensi berbasis regulasi dan penyuluhan langsung kepada masyarakat merupakan strategi krusial.
Penyuluhan di Ruang Pertemuan Kecamatan Campalagian ini bertujuan meningkatkan pemahaman stakeholder lokal (kepala desa, kader posyandu, bidan desa, PKK, Penyuluh KB, dsb.) mengenai upaya pencegahan stunting. Fokusnya adalah menyampaikan regulasi pemerintah sebagai payung hukum sekaligus sarana pemahaman komunitas.
Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi kronis yang masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Stunting didefinisikan sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi dalam jangka panjang, infeksi berulang, serta stimulasi psikososial yang tidak memadai. Kondisi ini berdampak pada tinggi badan anak yang lebih pendek dibandingkan standar usianya, serta dapat memengaruhi perkembangan kognitif, kesehatan jangka panjang, produktivitas, bahkan kualitas sumber daya manusia di masa depan (Kementerian Kesehatan RI, 2021). Oleh karena itu, stunting tidak hanya dipandang sebagai masalah kesehatan, tetapi juga sebagai isu multidimensional yang terkait dengan pendidikan, ekonomi, sosial, dan pembangunan nasional.
Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih berada pada angka 21–22 persen (AP News, 2025). Meski angka ini mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, jumlah tersebut masih jauh dari target pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024 sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Target ambisius ini menuntut adanya sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan pencegahan dan penanganan stunting secara menyeluruh.
Dalam rangka mempercepat penurunan stunting, pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi dan kebijakan strategis, salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Regulasi ini menekankan pentingnya pendekatan konvergensi lintas sektor, penguatan layanan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi seimbang, penyediaan air bersih, serta sanitasi yang memadai. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan dukungan fiskal melalui alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan transfer ke daerah untuk memperkuat program di tingkat lokal (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2022). Namun, implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif tanpa adanya pemahaman yang baik dari para pelaksana di lapangan, termasuk pemerintah desa, tenaga kesehatan, kader posyandu, dan masyarakat.
Penyuluhan menjadi salah satu strategi penting dalam mentransfer pengetahuan mengenai regulasi pemerintah sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya stunting serta langkah-langkah pencegahannya. Penyuluhan yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, merupakan salah satu bentuk intervensi edukatif yang bertujuan memperkuat kapasitas stakeholder lokal dalam memahami, menginternalisasi, dan mengimplementasikan kebijakan pencegahan stunting. Peserta penyuluhan terdiri dari kepala desa, bidan desa, kader posyandu, PKK, penyuluh KB, serta pihak kecamatan sebagai garda terdepan dalam pelayanan masyarakat.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman teoritis tentang stunting dan regulasi yang mengaturnya, tetapi juga menjadi sarana kolaborasi dan perumusan rencana aksi berbasis desa. Dengan demikian, penyuluhan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya gerakan kolektif di tingkat kecamatan dan desa yang terarah, terukur, dan sesuai dengan kerangka hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada akhirnya, keberhasilan penyuluhan semacam ini akan memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian target nasional penurunan prevalensi stunting sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah.
2. Landasan Regulasi Pemerintah dalam Pencegahan Stunting
2.1 Peraturan Presiden dan Strategi Nasional
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting menjadi payung hukum utama, yang mengatur strategi nasional, koordinasi antarlembaga, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan upaya pencegahan stunting Trimurtiijccd.umsida.ac.id. Regulasi ini juga memperkuat pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting di berbagai jenjang pemerintahan, dari nasional hingga desa Trimurti.
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting merupakan kerangka hukum yang menjadi dasar bagi seluruh program dan kebijakan pemerintah dalam menangani masalah stunting di Indonesia. Regulasi ini dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari komitmen nasional untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-2 (zero hunger) dan tujuan ke-3 (good health and well-being), yang menargetkan penghapusan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030.
Perpres No. 72 Tahun 2021 menetapkan Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (Stranas Stunting) yang mencakup lima pilar utama, yaitu:
1. Komitmen dan visi kepemimpinan nasional maupun daerah. Pemerintah menekankan pentingnya kepemimpinan politik yang kuat di semua tingkatan, mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota, hingga Kepala Desa, agar penurunan stunting menjadi prioritas pembangunan.
2. Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku. Melalui program sosialisasi dan penyuluhan, pemerintah berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang, perilaku hidup bersih, sanitasi, serta akses layanan kesehatan ibu dan anak.
3. Konvergensi program pusat, daerah, dan desa. Prinsip konvergensi menuntut agar intervensi dilakukan secara terpadu antar sektor, baik kesehatan, pendidikan, sosial, maupun infrastruktur. Dengan demikian, program yang dijalankan tidak berjalan parsial, tetapi saling mendukung.
4. Peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Upaya ini dilakukan melalui penguatan program bantuan sosial, penyediaan pangan bergizi dengan harga terjangkau, dan pemanfaatan potensi pangan lokal yang berkelanjutan.
5. Pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Pemerintah membangun sistem pemantauan berbasis data yang terintegrasi untuk memastikan setiap intervensi tercatat, terlaporkan, dan dapat dievaluasi secara periodik (Kementerian PPN/Bappenas, 2022).
Selain menetapkan strategi, Perpres 72/2021 juga memperkuat kelembagaan dengan membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di setiap jenjang pemerintahan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa. Tim ini berfungsi sebagai motor penggerak koordinasi lintas sektor sekaligus sebagai fasilitator dalam implementasi kebijakan. Di tingkat desa, TPPS berperan penting dalam merancang program intervensi sesuai kebutuhan lokal, mengoptimalkan peran kader posyandu, PKK, dan bidan desa, serta memastikan penggunaan Dana Desa untuk mendukung kegiatan percepatan penurunan stunting.
Perpres ini juga menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi antara pusat dan daerah. Artinya, pemerintah daerah dapat menyusun peraturan turunan seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Wali Kota, atau Peraturan Desa yang mengacu pada Perpres 72/2021. Dengan demikian, upaya pencegahan dan penanganan stunting memiliki legitimasi hukum yang kuat sekaligus memperluas jangkauan intervensi hingga ke masyarakat akar rumput (Trimurti-Bantul, 2022; IJCCD Umsida, 2022).
Lebih jauh, keberadaan Perpres ini menunjukkan bahwa masalah stunting tidak lagi hanya dianggap sebagai isu kesehatan, melainkan telah menjadi agenda pembangunan nasional yang memerlukan kolaborasi multisektoral. Hal ini sesuai dengan pendekatan whole of government dan whole of society yang menekankan keterlibatan seluruh aktor pembangunan — mulai dari pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha, hingga media massa — dalam upaya bersama menurunkan angka stunting secara berkelanjutan.
2.2 Peraturan Operasional dan Alokasi Anggaran
Berbagai regulasi teknis dan operasional ditetapkan, antara lain:
PMK No. 41 Tahun 2014: Pedoman Gizi Seimbang.
Surat Direktur Jend. Pelayanan Kesehatan 2016: Pemberian tablet penambah darah.
Kepmen Bappenas tentang penetapan lokasi prioritas intervensi.
PMK No. 8 Tahun 2021: Petunjuk penggunaan dana alokasi khusus fisik sektor kesehatan.
Peraturan Bappenas dan BKKBN mengenai Rencana Aksi Nasional 2021–2024 iieta.org.
Selain Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 yang menjadi payung hukum utama, pemerintah juga menetapkan sejumlah regulasi teknis dan operasional sebagai instrumen pelaksana dalam percepatan penurunan stunting. Regulasi ini memberikan pedoman lebih rinci kepada kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan di lapangan. Keberadaan regulasi teknis ini penting agar strategi nasional yang bersifat makro dapat diterjemahkan menjadi program-program konkret, terukur, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Beberapa regulasi teknis yang berperan signifikan antara lain:
1. Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
Regulasi ini menjadi acuan dasar dalam penyusunan program perbaikan gizi masyarakat. Pedoman Gizi Seimbang menggantikan konsep “4 Sehat 5 Sempurna” dengan prinsip konsumsi makanan beragam, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik teratur, serta pemantauan berat badan secara berkala. PMK ini berimplikasi langsung pada upaya pencegahan stunting karena mendorong edukasi pola makan sehat sejak usia dini dan pada ibu hamil.
2. Surat Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Tahun 2016 tentang Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD).
Aturan ini secara khusus menekankan intervensi gizi pada remaja putri dan ibu hamil melalui distribusi TTD. Pemberian TTD penting untuk mencegah anemia yang dapat meningkatkan risiko bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dan berpotensi mengalami stunting. Regulasi ini juga mengatur mekanisme distribusi, jumlah tablet, serta peran tenaga kesehatan dalam memantau kepatuhan konsumsi TTD.
3. Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang Penetapan Lokasi Prioritas Intervensi.
Bappenas menetapkan daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi sebagai lokasi prioritas, sehingga intervensi dapat difokuskan secara efektif. Penetapan ini memungkinkan adanya pemetaan kebutuhan spesifik di daerah, mulai dari infrastruktur sanitasi, pelayanan kesehatan ibu-anak, hingga penyediaan pangan bergizi. Dengan demikian, alokasi anggaran dan sumber daya dapat lebih tepat sasaran.
4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 8 Tahun 2021 tentang Petunjuk Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan.
PMK ini mengatur mekanisme penggunaan DAK untuk pembangunan dan pengadaan sarana prasarana kesehatan, seperti posyandu, puskesmas, serta fasilitas penyediaan air bersih. DAK kesehatan berperan penting dalam mendukung layanan dasar yang berkaitan langsung dengan pencegahan stunting. Misalnya, melalui pembangunan fasilitas sanitasi yang layak, perbaikan gizi masyarakat, hingga peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.
5. Rencana Aksi Nasional (RAN) Percepatan Penurunan Stunting 2021–2024.
RAN disusun oleh Bappenas bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai panduan operasional implementasi strategi nasional. Dokumen ini merinci indikator, target, dan strategi intervensi baik spesifik (misalnya pemberian ASI eksklusif, imunisasi, dan suplementasi gizi) maupun sensitif (penyediaan air bersih, pendidikan, dan perlindungan sosial). RAN juga menekankan pada integrasi data, pelaporan, serta monitoring dan evaluasi sebagai instrumen akuntabilitas (Iieta.org, 2022).
Dari sisi pembiayaan, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk mendukung program percepatan penurunan stunting. Pada tahun 2022, misalnya, anggaran mencapai Rp44,8 triliun, terdiri atas Rp34,1 triliun untuk kementerian/lembaga, Rp8,9 triliun untuk DAK fisik, dan Rp1,8 triliun untuk DAK non-fisik. Pada tahun 2023, meski anggaran sedikit menurun menjadi sekitar Rp30 triliun, pemerintah tetap menambah dukungan melalui transfer ke daerah sebesar Rp16,56 triliun (ANTARA News, 2023). Tidak hanya itu, pemerintah juga menyediakan insentif fiskal hingga Rp1,68 triliun kepada daerah yang berhasil menurunkan prevalensi stunting secara signifikan.
Dengan adanya regulasi teknis dan dukungan anggaran yang terstruktur, upaya pencegahan dan penurunan stunting dapat lebih terarah. Namun, efektivitas regulasi ini sangat bergantung pada kemampuan daerah dalam mengimplementasikannya secara konsisten, transparan, dan berbasis data. Oleh karena itu, selain regulasi dan anggaran, diperlukan juga mekanisme koordinasi, monitoring, serta pengawasan yang kuat agar setiap intervensi benar-benar berdampak pada penurunan angka stunting di tingkat akar rumput.
2.3 Infrastruktur Sanitasi dan Air Bersih
Kementerian PUPR menjalankan program seperti PAMSIMAS dan SANIMAS untuk penyediaan air minum serta sanitasi berbasis masyarakat di daerah prioritas stunting, termasuk Sulawesi Barat Trimurti.
Aspek sanitasi dan akses terhadap air bersih merupakan faktor sensitif yang sangat berpengaruh terhadap prevalensi stunting. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di lingkungan dengan kualitas sanitasi buruk lebih rentan mengalami diare kronis, infeksi saluran pencernaan, dan penyakit menular lainnya, yang secara tidak langsung mengganggu penyerapan nutrisi serta menghambat pertumbuhan optimal (UNICEF, 2021). Oleh karena itu, penyediaan infrastruktur sanitasi dan air minum yang layak menjadi salah satu pilar utama dalam strategi pencegahan stunting.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menjalankan sejumlah program prioritas di bidang sanitasi dan air bersih. Dua di antaranya yang berperan besar dalam konteks pencegahan stunting adalah:
1. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS).
PAMSIMAS merupakan program nasional yang bertujuan memperluas akses masyarakat perdesaan terhadap pelayanan air minum layak dan sanitasi. Program ini menekankan pendekatan partisipatif, di mana masyarakat terlibat langsung dalam perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan sarana air bersih dan sanitasi. Dengan keterlibatan aktif warga, keberlanjutan program lebih terjamin. Dalam konteks pencegahan stunting, PAMSIMAS membantu menekan angka kejadian penyakit berbasis lingkungan seperti diare dan cacingan, yang menjadi faktor risiko gizi buruk pada anak.
2. Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS).
SANIMAS fokus pada pembangunan sistem sanitasi komunal, seperti instalasi pengolahan air limbah dan jamban sehat, khususnya di daerah padat penduduk dengan keterbatasan lahan. Program ini sangat penting untuk mencegah praktik buang air besar sembarangan (BABS) yang masih terjadi di beberapa wilayah pedesaan. Dengan adanya sanitasi komunal yang terkelola baik, risiko penularan penyakit berbasis lingkungan dapat ditekan sehingga kesehatan ibu dan anak lebih terlindungi.
Khusus di wilayah prioritas stunting, termasuk Provinsi Sulawesi Barat tempat Kecamatan Campalagian berada, program PAMSIMAS dan SANIMAS menjadi intervensi yang strategis. Hal ini dikarenakan masih adanya kesenjangan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak di beberapa desa. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) menunjukkan bahwa meskipun cakupan akses sanitasi layak di Indonesia terus meningkat, terdapat disparitas antarwilayah, terutama di daerah perdesaan dan kawasan timur Indonesia. Oleh sebab itu, keberadaan program infrastruktur dari Kementerian PUPR menjadi instrumen penting dalam mendukung percepatan penurunan stunting di daerah tersebut (Trimurti-Bantul, 2022).
Selain pembangunan fisik, program-program ini juga menekankan pada edukasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Misalnya, kampanye mencuci tangan pakai sabun, pengelolaan limbah rumah tangga, serta pelatihan masyarakat dalam merawat sarana air bersih dan sanitasi. Dengan demikian, intervensi tidak hanya berhenti pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pada perubahan perilaku yang berkelanjutan.
Namun demikian, implementasi PAMSIMAS dan SANIMAS menghadapi sejumlah tantangan, seperti keterbatasan anggaran operasional, kesadaran masyarakat yang masih rendah, serta kemampuan teknis pengelolaan sarana yang belum merata. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan sinergi lintas sektor, termasuk peran pemerintah desa dalam mengalokasikan Dana Desa untuk mendukung pemeliharaan sarana air bersih dan sanitasi, serta keterlibatan organisasi masyarakat dalam pengawasan dan pendampingan.
Dengan adanya integrasi program infrastruktur sanitasi dan air bersih ke dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting, diharapkan angka stunting dapat ditekan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan prinsip konvergensi kebijakan, di mana intervensi sensitif seperti penyediaan sarana air bersih dan sanitasi sehat menjadi pelengkap dari intervensi spesifik di bidang kesehatan dan gizi.
2.4 Dukungan Fiskal dan Insentif Daerah
Anggaran khusus dialokasikan untuk percepatan stunting:
Tahun 2022: sekitar Rp44,8 triliun (Rp34,1 T untuk kementerian/lembaga, Rp8,9 T DAK fisik, dan Rp1,8 T DAK non-fisik) Antara News.
Tahun 2023: total anggaran turun menjadi sekitar Rp30 T, ditambah alokasi pemerintah ke daerah (transfer dana) sebesar Rp16,56 T Antara News.
Pemerintah juga memberikan insentif fiskal hingga Rp1,68 triliun kepada daerah dengan prestasi terbaik dalam penurunan stunting Antara News.
3. Peran Penyuluhan dalam Konteks Regulasi
3.1 Penyebaran dan Pemahaman Regulasi
Penyuluhan di tingkat kecamatan bertujuan menjelaskan isi dan mandatori dari regulasi seperti Perpres No. 72/2021, sehingga semua pihak lokal memahami peran dan kewajiban mereka dalam upaya pencegahan.
Penyuluhan di tingkat kecamatan memiliki fungsi strategis sebagai sarana untuk menjembatani regulasi nasional dengan realitas implementasi di lapangan. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah, seperti Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, pada dasarnya memberikan kerangka kebijakan yang komprehensif. Namun, regulasi tersebut sering kali sulit dipahami secara langsung oleh aparat desa, kader posyandu, maupun masyarakat awam karena bersifat normatif dan teknis. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan diperlukan untuk menyederhanakan isi regulasi, menjelaskan mandatnya, serta menerjemahkannya ke dalam tindakan nyata yang dapat dilakukan di tingkat lokal.
Penyuluhan mengenai regulasi tidak hanya sekadar menyampaikan isi dokumen hukum, tetapi juga menekankan peran, kewajiban, dan hak masing-masing aktor. Misalnya, pemerintah desa memiliki kewajiban mengalokasikan Dana Desa untuk mendukung intervensi gizi dan kesehatan, kader posyandu bertugas melakukan pemantauan tumbuh kembang balita, sedangkan PKK berperan dalam edukasi gizi keluarga dan pembinaan perilaku hidup bersih. Dengan demikian, setiap elemen masyarakat dapat memahami kontribusi spesifik yang harus diberikan dalam kerangka pencegahan stunting.
Lebih jauh, penyuluhan juga berfungsi untuk menumbuhkan sense of ownership atau rasa memiliki terhadap regulasi yang ada. Tanpa pemahaman yang baik, regulasi berpotensi hanya menjadi dokumen administratif tanpa daya dorong yang nyata di masyarakat. Sebaliknya, jika regulasi dipahami dan diinternalisasi, maka akan mendorong terciptanya komitmen kolektif untuk melaksanakan program percepatan penurunan stunting.
Dalam praktiknya, penyebaran regulasi di tingkat kecamatan dapat dilakukan melalui metode ceramah interaktif, diskusi kelompok terarah (FGD), simulasi kasus, maupun lokakarya mini lintas sektor. Melalui pendekatan partisipatif ini, peserta tidak hanya mendengarkan paparan, tetapi juga dapat mengajukan pertanyaan, berbagi pengalaman, dan merumuskan solusi sesuai konteks lokal. Misalnya, jika Perpres No. 72/2021 mengamanatkan pentingnya air bersih, maka pemerintah desa bersama masyarakat dapat mendiskusikan kemungkinan mengintegrasikan program PAMSIMAS atau SANIMAS ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).
Penyuluhan juga memperkuat arus komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan masyarakat. Regulasi yang telah disusun di tingkat nasional dapat dikritisi, dievaluasi, dan diperkaya dengan masukan dari masyarakat akar rumput. Dengan cara ini, implementasi regulasi tidak bersifat top-down semata, melainkan mendapat legitimasi dari pengalaman nyata masyarakat setempat.
Dengan adanya penyebaran dan pemahaman regulasi yang efektif, diharapkan tidak terjadi kesenjangan informasi atau misinterpretasi di tingkat pelaksana. Semua pihak lokal, mulai dari pemerintah kecamatan, kepala desa, tenaga kesehatan, hingga kader posyandu, memahami secara jelas garis besar kebijakan, peran yang harus dijalankan, serta indikator keberhasilan yang diharapkan. Pada akhirnya, pemahaman ini akan memperkuat koordinasi, meningkatkan efektivitas intervensi, dan mempercepat tercapainya target penurunan stunting di daerah.
3.2 Memperkuat Konvergensi Lintas Sektor
Melalui penyuluhan, sinergi antara kader kesehatan, instansi desa, PKK, penyuluh KB, dan BKKBN dapat diperkuat untuk menjalankan pendekatan konvergensi, seperti yang dikenalkan dalam strategi nasional stunting.
Upaya percepatan penurunan stunting tidak dapat dilakukan secara sektoral atau parsial. Stunting merupakan masalah multidimensional yang tidak hanya berkaitan dengan gizi semata, tetapi juga melibatkan faktor kesehatan, pendidikan, sanitasi, ekonomi, hingga pola asuh keluarga. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 72 Tahun 2021 menekankan pentingnya pendekatan konvergensi lintas sektor, yakni strategi kolaboratif yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama (BKKBN, 2021).
Penyuluhan di tingkat kecamatan, seperti yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan Kecamatan Campalagian, berperan sebagai wahana untuk memperkuat sinergi antaraktor lokal. Melalui forum ini, kader kesehatan, pemerintah desa, PKK, penyuluh KB, BKKBN, dan instansi teknis lainnya dapat duduk bersama, memahami regulasi, dan merumuskan peran kolaboratif. Konvergensi lintas sektor yang terbangun melalui penyuluhan mencakup beberapa aspek penting:
1. Koordinasi Program dan Kebijakan.
Penyuluhan menjadi ruang untuk menyelaraskan program dari berbagai sektor agar tidak tumpang tindih. Misalnya, program gizi dari Dinas Kesehatan dapat dipadukan dengan program ketahanan pangan dari Dinas Pertanian, serta kegiatan pemberdayaan keluarga dari PKK. Dengan koordinasi yang baik, sumber daya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.
2. Pembagian Peran yang Jelas.
Konvergensi menuntut kejelasan peran masing-masing aktor. Kader kesehatan berfokus pada pemantauan tumbuh kembang balita, bidan desa menangani pelayanan kesehatan ibu dan anak, PKK melakukan edukasi pola asuh dan konsumsi pangan sehat, sedangkan penyuluh KB bersama BKKBN memastikan keberlanjutan program keluarga berencana. Melalui penyuluhan, setiap pihak memahami kontribusinya dalam rantai pencegahan stunting.
3. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal.
Salah satu kekuatan konvergensi adalah optimalisasi sumber daya lokal. Misalnya, pemerintah desa dapat mengalokasikan Dana Desa untuk program pangan tambahan, PKK dapat menggerakkan kebun gizi keluarga, sedangkan kelompok pemuda dapat dilibatkan dalam kampanye kesehatan digital. Penyuluhan membantu mengidentifikasi potensi lokal tersebut agar dapat diintegrasikan ke dalam rencana aksi bersama.
4. Penguatan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi.
Dalam kerangka konvergensi, monitoring dan evaluasi tidak hanya menjadi tanggung jawab satu instansi, tetapi melibatkan lintas sektor. Penyuluhan dapat menjadi forum untuk menyepakati indikator keberhasilan, mekanisme pelaporan, serta jadwal evaluasi rutin. Dengan demikian, proses implementasi dapat lebih transparan dan akuntabel.
5. Membangun Komitmen Kolektif.
Konvergensi tidak akan berhasil tanpa adanya komitmen bersama. Penyuluhan berfungsi memperkuat kesadaran bahwa stunting adalah tanggung jawab semua pihak. Dengan pendekatan partisipatif, setiap aktor merasa memiliki misi yang sama, yaitu menciptakan generasi sehat, cerdas, dan produktif di masa depan.
Penguatan konvergensi lintas sektor di tingkat kecamatan juga sejalan dengan prinsip “whole-of-government and whole-of-society approach” yang dianut dalam kebijakan pembangunan kesehatan. Pendekatan ini memastikan bahwa tidak ada sektor yang bekerja secara terisolasi, melainkan bersinergi dalam satu kerangka strategis yang terukur.
Dengan demikian, melalui penyuluhan di Kecamatan Campalagian, konvergensi lintas sektor bukan hanya jargon, tetapi menjadi praktik nyata yang diwujudkan dalam koordinasi, perencanaan terpadu, dan aksi bersama di lapangan. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pencapaian target penurunan stunting nasional sekaligus menjadikan Campalagian sebagai model implementasi regulasi berbasis komunitas.
3.3 Mendorong Partisipasi Komunitas
Studi di Bireuen, Aceh menunjukkan pentingnya keterlibatan warga, seperti tradisi memberi makanan bergizi kepada ibu hamil, serta pendirian Rumah Gizi Gampong sebagai pusat koordinasi Antara News. Penyuluhan membuat komunitas sadar bahwa mereka memiliki andil langsung dalam mitigasi stunting.
3.4 Edukasi Gizi dan Perilaku
Penyuluhan menyasar edukasi ASI eksklusif, MP-ASI, suplemen gizi, sanitasi, dan imunisasi lengkap — poin-poin yang merupakan bagian dari intervensi spesifik pemerintah stunting.kaltaraprov.go.idAntara News.
4. Studi Kasus Pelaksanaan di Desa Lain
Sukoharjo: Perda Bupati No. 8 Tahun 2020 mengatur delapan aksi konvergensi, termasuk konsultasi stunting dan pengembangan kader ResearchGate.
Tanjung (Sukoharjo): Implementasi teori Bantalan & struktur birokrasi menunjukkan komunikasi dan komitmen tinggi, meski terbatas anggaran journal.pubmedia.id.
Bogor City: Program stunting seperti SALSA dan PKH menunjukkan hambatan koordinasi lintas sektor serta rendahnya kesadaran publik journal.umy.ac.id.
5. Metodologi dan Pelaksanaan Kegiatan
5.1 Metode
Jenis kegiatan: Fokus group discussion (FGD), ceramah interaktif, dan diskusi kebijakan lokal.
Peserta: Kepala desa, bidan, kader posyandu, PKK, penyuluh KB, dan pihak kecamatan.
Materi:
Dasar hukum (Perpres 72/2021, PMK 41/2014, PMK 8/2021).
Program intervensi (supplementasi, MP-ASI, sanitasi, imunisasi).
Peran kolaborasi lintas sektor dan desa.
Praktik terbaik dari daerah lain (contoh Bireuen, Sukoharjo).
Durasi: Sekitar 6–8 jam dalam satu hari.
5.2 Output dan Tindak Lanjut
Kesepakatan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kecamatan.
Rencana aksi desa dan penyusunan regulasi desa terkait stunting.
Rencana monitoring (data pemantauan pertumbuhan balita, pelaporan berkala, evaluasi).
6. Diskusi
Penyuluhan yang berbasis regulasi dapat:
Memastikan kebijakan pemerintah sampai ke tingkat lokal dengan jelas.
Meningkatkan sinergi lintas sektor, dilandasi peran legal seperti dalam Stranas dan peraturan presiden.
Mendorong partisipasi aktif komunitas — pendekatan bottom-up yang diperkaya dengan kearifan lokal, sebagaimana praktik di Aceh Antara News.
Mengisi celah sosialisasi, karena kendala seperti keterlambatan informasi dan sistem data terintegrasi sering menjadi penghambat ijccd.umsida.ac.idResearchGate.
7. Kesimpulan
Penyuluhan penyuluhan cegah stunting di Kecamatan Campalagian memainkan peran penting sebagai jembatan antara regulasi nasional dan implementasi lokal. Dengan materi berbasis Perpres No. 72 Tahun 2021 dan regulasi teknis lainnya, ditunjang metode interaktif, penyuluhan ini dapat mempercepat penurunan stunting melalui kolaborasi, edukasi, dan sistem monitoring yang lebih baik.
8. Rekomendasi
Untuk menguatkan dampak penyuluhan:
Bentukkan komite lintas sektor di tingkat kecamatan dan desa ResearchGate.
Kembangkan sistem informasi desa-puskesmas terintegrasi untuk pemantauan stunting ResearchGate.
Perkuat pelatihan kader, termasuk penggunaan media interaktif agar pesan penyuluhan lebih menyentuh ijccd.umsida.ac.idvm36.upi.edu.
Daftar Pustaka
ANTARA News. (2023, March 5). Community involvement key for stunting prevention: Minister. Antara News
iieta.org. (n.d.). Stunting Reduction in Indonesia: Challenges and Opportunities. iieta.org
ANTARA News. (2024). Tracking govt interventions for stunting-free Indonesia. Antara News
Trimurti-Bantul. (n.d.). Tinjauan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan dan Pencegahan Stunting. Trimurti
Wikipedia. (2025). Coordinating Ministry for Human Development and Cultural Affairs. Wikipedia
Wikipédia. (2025). Ministry of Health (Indonesia). Wikipedia
Wikipedia. (2025). Ministry of Population and Family Development. Wikipedia
Publicuho Journal. (n.d.). IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGGAN PRAVELANSI STUNTING ANAK BALITA PADA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KONAWE. ojs.uho.ac.id
Jurnal Pemerintahan dan Kebijakan (JPK). (n.d.). Implementation of Stunting Prevention Policies in Bogor City. journal.umy.ac.id
Indonesian Journal of Cultural and Community Development. (n.d.). Navigating Implementation Challenges of Stunting Solutions in Indonesia’s Health Programs. ijccd.umsida.ac.id
Portal Stunting Kalimantan Utara. (n.d.). Solusi penanganan stunting. stunting.kaltaraprov.go.id
ResearchGate. (n.d.). The Role of Government in Reducing Stunting in Indonesia, Case Study: Optimization of BKKBN in Sukoharjo District. ResearchGate
Indonesian Journal of Public Administration Review. (n.d.). Implementation of Stunting Prevention Policy in Tanjung Village, Nguter District, Sukoharjo Regency. journal.pubmedia.id
ResearchGate. (n.d.). Strategi Pencegahan Stunting Berkelanjutan. ResearchGate
Dedicated: Journal of Community Services. (n.d.). Stunting prevention efforts through integrative socialization and counseling programs in Karangwangi Village, Cianjur Regency. vm36.upi.edu
Associated Press. (2025, January 6). Indonesia launches free meals program to feed children and pregnant women to fight malnutrition. AP News
Inspirasi
Kolaborasi
Pembelajaran
info@ruangpemuda.info
085145459727
© 2024. All rights reserved.